JIKA mencermati novel-novel karya pengarang besar, seperti karya Pramudya Ananta Toer, YB Mangun Wijaya, Budi Darma, Umar Kayam, Iwan Simatupang, hingga Salman Rusdhi dan Milan Kundera (untuk menyebut beberapa nama saja), kemudian kita teringat tentang teori atau kaidah sastra yang diajarkan di bangku sekolah, tentu akan segera memperoleh kesan bahwa sastrawan ternyata memang memiliki kebebasan kreatif yang acap kali menisbikan berbagai teori atau kaidah sastra yang ada di sekolah.
Teori atau kaidah mengenai novel, yang diajarkan di sekolah, selalu disimpulkan sebagai berikut.
1. Bahwa yang disebut novel adalah cerita fiksi yang panjang.
2. Memiliki alur yang berkesinambungan, dengan deskripsi penokohan dan latar cerita (setting) yang detail, lalu
3. Ada klimaks atau ending-nya.
Novel-novel yang kemudian mengangkat penulisnya menjadi sastrawan besar justru novel-novel yang menyalahi teori atau kaidah sastra yang diajarkan di sekolah.
1. Novel Sastra ( Novel bukan POP )
- Novel POP
Perbedaan novel pop dengan novel bukan pop (baca: novel sastra) justru sering ditentukan oleh pembaca dan bukan oleh pengarangnya.
Bagi sastrawan, perbedaan antara menulis novel pop dan menulis novel sastra tentu juga sangat jelas. Dalam hal ini, sastrawan-sastrawan yang memilih menulis novel sastra tentu akan berusaha untuk sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya mengeksploitasi daya kreatif dan pemikirannya dengan sebebas-bebasnya, agar novel yang ditulisnya memiliki banyak makna dan nilai yang abadi. Apakah itu moralitas, ideologi politik, garis besar saint, dan lain sebagainya.
Dan jika mencermati novel-novel sastra karya para pemenang hadiah nobel di bidang sastra, kebanyakan memang novel yang ditulis dengan semangat kebebasan kreatif, yang berarti berseberangan dengan teori dan kaidah sastra yang dibakukan di sekolah-sekolah.(MH ALBANA)
Rabu, 18 Agustus 2010
0 komentar